Islam di Jepang Setelah Pembunuhan Warga Jepang Oleh ISIS

Penyanderaan dan pembunuhan warga Jepang oleh ISIS; wartawan Kenji Goto dan kontraktor Haruna Yukawa, berdampak serius bagi Islam di Jepang.

Semua mata publik Jepang, terutama pada hari-hari pertama setelah ISIS mengumumkan akan membunuh dua warga Jepang yang disandera, seolah memandang sinis Muslim — warga Jepang atau imigran — di negeri berpenduduk Shinto dan Buddha itu.

Namun penampilan Musa Omar, direktur eksekutif Islamic Center di Tokyo dan imam Masjid Tokyo (Tokyo Camii), mengubah segalanya. Musa Omar secara khusus menampilkan wajah Islam yang toleran, dengan mengutuk pembunuhan Goto dan Yukawa dan menyebut tindakan ISIS bukan perilaku Islam.

Publik Jepang merespon dengan memperlihatkan toleransinya, sesuatu yang tidak pernah diperlihatkan negara mana pun di mana Muslim adalah minoritas.

“Orang-orang Jepang terbuka terhadap Islam,” ujar Musa Omar dalam wawancara dengan Japan Times. “Mereka sadar apa pun prasangka buruk terhadap Islam berasal dari Barat.”

Muslim Jepang sangat kecil, hanya 100 ribu dari 122 juta penduduk negeri itu. Ada sekitar 200 masjid di sekujur Jepang, dan kebanyakan berdiri atas inisiatif pribadi.

Masjid tertua dibangun di Nagoya, yang dibangun tahun 1931. Yang terbesar adalah Tokyo Camii — masjid berarsitektur Ottoman.

Agama Islam diperkirakan masuk ke Jepang kali pertama abad ke-8 tapi tak berkembang, karena politik isolasi yang dijalankan para shogun. Abad ke-19, setelah Jepang lebih terbuka, pedagang-pedagang India dan pelaut Melayu berkeliaran di pelabuhan-pelabuhan Jepang.

Hari ini, kafetaria universitas, hotel dan restoran, menawarkan pilihan makanan halal. Ada mushalla di bandara, kantor-kantor perusahaan, dan serta lebih 100 asosiasi Islam dan pengajian.

Tahun 2013, PM Shinzo Abe berbicara tentang ‘ikatan terputus’ Jepang dan dunia Islam.

Sejak 1980-an, Jepang berkenalan secara intensif dengan Islam lewat turis, pertukaran pelajar, dan aliran pekerja dari Pakistan, Malaysia, dan Indonesia. Banyak di antara mereka menikah dengan warga Jepang dan menetap.

Nyaris tidak terdengar sentimen anti-Islam yang disertai insiden. Namun, video pembunuhan Yukawa dan Goto mengubah segalanya.

“ISIS, lewat video pembunuhan dua warga Jepang, dikhawatirkan menimbulkan kesan negatif warga negeri ini terhadap Islam,” ujar Ryoichi Matsno, profesor psikologi dari Universtias Media Chuo kepada Asahi Shimbun.

Psikiater Rika Kayama mengatakan; “Saya khawatir sikap hormat masyarakat Jepang terhadap kepercayaan orang lain akan hilang.” Kayama menyesalkan mengapa tawaran negosiasi yang dilayangkan pemerintah Jepang tidak direspon positif oleh ISIS.

Muslim Jepang tahu semua itu, dan dihantui kekhawatirkan akan munculnya sentimen anti-Islam yang disertai insiden. Mereka berupaya mencegah semua itu, dengan memperlihatkan ‘wajah Muslim Jepang’ sesungguhnya di depan publik.

Akhir pekan lalu, misalnya, Muslim Jepang berkumpul di Islamic Trust di Tokyo untuk berdoa bagi keselamatan Goto, meski sesi doa berubah menjadi isak tangis ketika terdengar sang wartawan dibunuh.

Haroon Qureshi, sekretaris jenderal Islamic Trust, tak berhenti mengusap air mata. “Kami sangat menyesalkan. Kami bekerja dan berdoa untuk kebebasan Yukawa dan Goto,” ujar Qureshi kepada Mainichi Shimbun.

Jepang tidak terlibat memerangi ISIS, dan tidak pernah memusuhi Islam. Bantuan Tokyo untuk AS dan koalisi bersifat non-militer, dan terbatas untuk kemanusiaan.

Namun pembunuhan Goto dan Yukawa membuat sikap pemerintah Jepang berubah. Tokyo mengevaluasi respon terhadap terorisme, dan memperkenalkan langkah-langkah keamanan baru di semua pintu masuk dan keluar dari dan ke Jepang.

Sekretaris Kabibet Yoshihide Suga mengatakan Tokyo telah mengadakan pertemuan anti-terorisme, yang secara khusus membahas keamanan Olimpiade 2020.

Jepang juga menggunakan krisis sandera ini untuk meningkatkan proyeksi militernya di luar negeri, meski Pasukan Bela Diri Jepang terkungkung konstitusi pasifis pasca-Perang Dunia II.

Muslim Jepang sadar mereka kini hidup di negeri yang sedang marah, dan di tengah publik yang setiap saat bisa meledak dan melampiaskan kekesalan terhadap Islam dengan menyerang mereka. Namun, mereka masih percaya Jepang yang mereka kenal adalah masyarakat yang tetap ramah dan tidak terkontaminasi propaganda Barat.

Mohsem Bayoumi, ulama yang berbasis di Ibaraki, mengatakan kepada Japan Times; “Kami tidak akan pernah bersembunyi. Silahkan datang ke sini, dan berbicara dengan kami.”

Ia melanjutkan; “Allah menakdirkan kita untuk memiliki hubungan sebagai keluarga, tetangga, dan saling menghormati, menciptakan masyarakat yang damai.”

sumber  : atjehcyber.net

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *