Jepangdengan 50 reaktor nuklirnya yang offline/tidak aktif serta dengan mahalnya import gas menjadi cobaan ekonomi buat Jepang, pemerintah telah membuat langkah untuk memgurangi dampak buruk dari krisis yang terjadi saat ini. Salah satu opsi energi yang dilirik pemerintah yaitu energi angin, mengingat negara jepang memiliki garis pantai yang sangat panjang (soalnya negara jepang itu negara kepulauan, jadi keliling pantainya panjang). Kincir angin apung yang baru dibangun pemerintah Insya Allah akan mulai beroperasi mulai bulan depan.
Kincir angin apung terletak 12 mil dari kawasan reaktor nuklir di Fukushima dan diletakkan diatas platform mengapung, hanya jangkar yang menancap ke dasar laut. Kincir angin berukuran 350 kaki ini mampu menghasilkan energi listrik untuk 1.700 rumah tangga. Menggunakan kincir angin sebagai energi alternatif diyakini sebagai awal bagi Jepang untuk menggunakan energi bersih dan tidak berbahaya. Jepang memiliki tujuan ambisiusnya, yaitu menghasilkan listrik lebih dari 1 gigawat dari 170 turbin pada tahun 2020. Energi tersebut setara dengan energi yang dihasilkan oleh reaktor nuklir.
Melalui kemitraan publik, pemerintah jepang telah menyetujui untuk membiayai 22 miliar yen atau 226 juta dolar sebagai biaya untuk membangun 3 turbin angin pertamanya. Yang termasuk dalam konsortium yaitu: Shimizu dan Marubeni, Hitachi, dan Mitshubishi Heavy Industries. “Ini harapan terbesar Jepang”, kata mas Himeno Imamura, juru bicara untuk Shimizu. Ia bangga dengan proyek besar tersebut. Dia mendeskripsikannya sebagai “Semua upaya Jepang, hampir 100 persen buatan Jepang”.
Menurut Insinyur sipil dan pimpinan proyek, Takeshi Ishihara dari Universitas Tokyo, Jepang sekarang “membuka lembaran barus dalam sejarah energi angin lepas pantainya”. Memanfaatkan energi angin, dengan menggunakan kincir angin yang ditempatkan di perairan jauh Jepang, diyakini mampu menghasilkan energi sebanyak 1,570 gigawatt. Satu-satunya kelemahan, yaitu dalam urusan pemeliharaan insfrastruktur. “Semakin jauh penempatan ladang kincir angin, semakin mahal biaya pembangunan dan proses membawa energinya ke daratan Jepang”, kata mas Paul Scalise, seorang peneliti dari Institut Ilmu Sosia di Todai.