Resesi Seks Meningkat di Jepang: Banyak Sekolah Terancam Tutup

Resesi Seks Meningkat di Jepang: Banyak Sekolah Terancam Tutup

Permasalahan resesi seks di Jepang semakin menunjukkan tanda-tanda yang mengkhawatirkan. Bahkan, dampaknya telah menyebabkan beberapa sekolah di Negeri Sakura harus menutup pintu karena tidak ada lagi pendaftar baru.

Beberapa bulan lalu, Reuters melaporkan tentang dua siswa, Eita Sato dan Aoi Hoshi, yang menjadi lulusan terakhir di SMP Yumoto, yang terletak di Desa Ten-ei, Prefektur Fukushima, utara Jepang. Dengan ditutupnya SMP tersebut, kini telah berakhirlah 76 tahun perjalanan pendidikan di sana.

Resesi Seks Meningkat di Jepang: Banyak Sekolah Terancam Tutup

“Eita dan saya mendengar rumor tentang penutupan sekolah saat berada di tahun kedua, tetapi kami tidak pernah membayangkan bahwa hal itu akan menjadi kenyataan. Kami sangat terkejut,” ujar Aoi saat diwawancarai (2/7/2023).

Kondisi penutupan sekolah ini disebabkan oleh anjloknya angka kelahiran di Jepang, yang ternyata berlangsung lebih cepat dari perkiraan. Fenomena ini terutama berdampak pada daerah pedesaan seperti Ten-ei, sebuah area pegunungan yang populer dengan mata air panas di prefektur Fukushima, yang juga merasakan depopulasi penduduk.

Upaya untuk meningkatkan angka kelahiran telah dijanjikan oleh Perdana Menteri Fumio Kishida, termasuk penggandaan anggaran untuk kebijakan pro-kelahiran. Meskipun demikian, usaha ini tampaknya belum memberikan hasil yang signifikan.

Angka kelahiran menurun drastis hingga di bawah 800.000 pada tahun 2022, mencatatkan rekor terendah baru dalam sejarah. Bahkan, depopulasi penduduk terjadi delapan tahun lebih cepat dari perkiraan pemerintah.

Situasi ini memberikan pukulan telak bagi sekolah-sekolah kecil di daerah pedesaan yang sering kali menjadi pusat kehidupan masyarakat.

Data pemerintah menunjukkan bahwa sekitar 450 sekolah tutup setiap tahunnya. Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah telah menutup pintunya selamanya, menjadikannya tantangan besar bagi daerah-daerah terpencil untuk menarik penduduk muda yang baru.

Contohnya adalah Desa Ten-ei, yang saat ini hanya memiliki kurang dari 5.000 penduduk, dengan hanya sekitar 10% dari mereka berusia di bawah 18 tahun. Pada puncaknya pada tahun 1950, desa ini menampung lebih dari 10.000 penduduk berkat sektor pertanian dan manufaktur yang berkembang.

Namun, kesulitan dan keterpencilan dari wilayah tersebut telah mendorong banyak penduduk untuk meninggalkan tempat kelahiran mereka.

Depopulasi semakin meruncing setelah bencana di Pembangkit Nuklir Fukushima Dai-ichi pada 11 Maret 2011. Daerah Ten-ei, yang berjarak kurang dari 100 km (62 mil) dari lokasi pembangkit, mengalami dampak kontaminasi radioaktif yang cukup signifikan, meskipun upaya membersihkan telah dilakukan.

Sementara itu, SMP Yumoto, sebuah bangunan dua lantai yang terletak di pusat distrik, pernah menjadi tempat bagi sekitar 50 lulusan setiap tahunnya saat masa kejayaannya pada tahun 1960-an. Foto-foto kelulusan dari setiap angkatan terpampang di dekat pintu masuk, dari yang hitam putih hingga berwarna.

Namun, jumlah siswa yang terus menurun sejak sekitar tahun 2000 membuat angka lulusan semakin menipis, bahkan tidak ada lagi foto kelulusan baru dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah desa Ten-ei sendiri sedang mempertimbangkan penggunaan kembali gedung sekolah, apakah sebagai kebun anggur atau museum seni.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *